Masri Amin, SE., M.Si, Tema Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Aceh Ke-39 “Memperkuat Syariat, Memajukan Ummat” yang telah digelar di Kota Juang Bireun (4-5/3/23) menemukan relevansinya. Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Aceh 13 orang terpilih secara e-voting pada Ahad (5/3) merupakan kombinasi penguatan thema Musywil dalam konteks Aceh kekinian.

Pada hari terakhir tersebut, Pimpinan 13 terpilih “bersila” – bersidang di arena Komplek Pendidikan Masjid Taqwa Bireun dengan tradisi Muhammadiyah yang teduh menentukan Komposisi kepengurusan kolektif kolegial. A. Malik Musa,SH,MH yang memperoleh suara terbanyak sekaligus dipercaya secara musyawarah sebagai Ketua PW. Muhammadiyah Aceh Periode 2022-2027.

Sebelas Pimpinan lainnya merupakan kombinasi apik dari aspek beragam kapasitas, integritas, generasi serta geografis. Tim PWM Aceh periode 2022-2027 ini merupakan fase “transisi” lembut dengan kekuatan penuh dalam berkhidmat untuk ummat dan bangsa, khususnya Aceh. Sebelas pimpinan tersebut diisi oleh Taqwaddin Husen, Abrar Zym, Ali Abu Bakar dan M. Zardan Araby. Selanjutnya, Aslam Nur, Hermansyah Adnan, Amiruddin Husein, M. Yamin, Muharrir Asyari, Nasrul Zaman dan Taufiq A. Rahim.

KONSOLIDASI INTERNAL

Ada dua agenda organisasi yang menunggu Pasca Musywil PWM Aceh di Bireun. Pertama, penataan struktur operasional organisasi PWM Aceh masa jabatan 2022-2027, dan Kedua, secara tradisi organisasi , tiga bulan kedepan di ikuti dengan Musyawarah Daerah (Musyda) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) 23 Kabupaten/Kota di Aceh.

Semangat yang tersurat dalam Musywil PWM Aceh di Bireun ada gairah untuk ikhtiar dan terus berkhidmat dalam hal kemaslahatan keummatan serta ke-Acehan yang berkemajuan. Mengimbangi semangat tersebut tentu pentingnya membangun suasana organisasi yang lincah dan adaptif tanpa meninggalkan ciri khas organisasi ke-muhammadiyah-an “Wasathiyatul Islam” yang “Rahmatan Lil Alamin” berlandaskan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.

Padu-padan komposisi kepengurusan “ke-ulama-an” yang mendalam diharapkan agar dakwah Muhammadiyah “tidak kering”. Begitu juga dengan Muhammadiyah tetap dengan gerakan “amal usaha/sosial” yang lincah. Perpaduan ini menjadi sebuah keniscayaan. Pada sisi lain, konsolidasi internal menentukan gerakan kedalam dan keluar PWM Aceh kedepan. Tim yang solid serta lincah menempatkan peran Muhammadiyah yang strategis menjadi “matahari” pencerah dan lebih bermakna di tengah kehidupan masyarakat dan ummat yang cenderung “redup”.

Idealnya, struktur kepengurusan organisasi,termasuk Muhammadiyah Aceh adalah miskin struktur kaya fungsi. Paling tidak, kaya struktur kaya fungsi. Harus dihindari ditengah kekinian adalah kaya struktur miskin fungsi atau miskin struktur miskin fungsi. Ciri utama Muhammadiyah dalam sejarahnya tetap “kaya fungsi” tanpa tergilas oleh perubahan zaman.

“Demokrasi” yang teduh ala Muhammadiyah merupakan modal yang cukup berarti untuk bergerak cepat. Komposisi Pimpinan 13 terpilih merupakan tim ideal yang punya pengalaman di Muhammadiyah dan diluar Muhammadiyah yang mumpuni. Realitas ini dan kesempatan yang terbentang tidak boleh melaju lepas begitu saja dengan sia-sia tanpa membumikan kerja nyata. Selain itu, konsolidasi dengan semangat kebersamaan sangat penting untuk menggerakan seluruh potensi Organisasi Otonom (ortom)/Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) dan Amal Usaha Muhammadiyah (AMM) ditingkat wilayah. Sinergitas internal ini menjadi “turbo Charger” yang mempunya energi lebih dalam menggerakkan tujuan persyarikatan hingga ke level jaringan terendah.

Agenda terdekat yang kedua adalah terkait dilangsungkannya tradisi Musyda PDM setelah Musywil PWM. Rezim Musyda PDM Se-Aceh ini sangat menentukan juga irama gerakan PWM yang bersemangat baru bekerja “lebih” cepat. Agar gerak organisasi selaras dalam semangat “bangkit”, maka Musyda ini akan lebih baik dilakukan secara serentak atau relatif serentak dengan membagi kehadiran Pimpinan 13 secara fisik secara langsung di 23 Kabupaten/kota. Tentu dalam dua hari Musyda serentak, maka 23 Kabupaten/Kota melahirkan PDM terpilih secara waktu bersamaan. Gerakan serentak ini melahirkan semangat bersama untuk menggerakkan organisasi Muhammadiyah se-Aceh dengan energi dan irama yang selaras untuk kemajuan serta cita-cita yang diharapkan.

Mengambil semangat dan komposisi 13 PWM Aceh terpilih yang padu, tidak berlebihan bila 23 PDM Kabupaten/Kota se- Aceh kedepan – diharapkan mempunyai semangat yang sama, melahirkan pimpinan perpaduan komposisi yang adaptif dengan kekinian tanpa meninggalkan pimpinan yang mempunyai fondasi dasar gerakan ke-muhammadiyah-an sejati.

Sambutan pembukaan Musywil oleh Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P perlu disikapi sebagai renungan. Beliau mengatakan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan yang sifatnya gerakan. Organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tahun 1912 ini lebih bersifat gerakan dibandingkan jamaah. Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang sifatnya gerakan (Harakah), karena itu lebih kuat dari aspek “Jamiiah” nya daripada “jamaah”nya. Karena itu semangatnya agar Muhammadiyah itu lebih longgar dan lues dapat
merangkul banyak pihak serta mampu beradaptasi. Auto kritik ini bentuk antisipasi era yang dinamis, bergerak dan berubah cepat, serba tidak pasti agar tidak digulung oleh realitas zaman.

“MEMBUMIKAN TAUHID UNTUK ACEH”

Muhammadiyah secara organisasi didirikan pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H atau 18 Nopember 1912 M oleh almarhum K.H. Ahmad Dahlan, di Yogyakarta. Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia – gerakan Muhammadiyah begitu cepat berkembang ke seluruh kawasan Nusantara.

Jejak Muhammadiyah di Aceh secara resmi berdiri setelah 15 tahun pendirian-nya di Yogyakarta itu, tepatnya pada tahun 1927. Empat tahun sebelumnya, pada tahun 1923 Muhammadiyah telah diperkenalkan oleh almarhum Djajasoekarta – seorang pegawai pemerintah Belanda yang berasal dari Sunda – ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk mengunjungi daerah-daerah termasuk Aceh . Artinya, Muhammadiyah berjejak lama turut bernafas bersama dalam segenap dialektika sejarah Aceh sejak pra Kemerdekaan Republik Indonesia hingga kini di “Serambi Mekkah”.

Tidak berlebihan, Dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten I Setda Aceh M.Jakfar – Pj Gubernur Aceh mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Aceh yang telah berkontribusi terhadap perkembangan dan dan kemajuan Aceh dalam bidang dakwah, sosial, kemasyarakatan, dan pendidikan.

Bahkan dalam sambutan itu Pj.Gubernur Aceh menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh menaruh harapan penuh kepada Muhammadiyah dan ‘ Aisyiyah Aceh untuk dapat berkiprah secara maksimal dalam penguatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Muhammadiyah dan ‘ Aisyiyah Aceh dapat menjadi sebuah organisasi yang berada di garda terdepan dalam proses pembangunan pengawasan pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang berdasarkan kepada undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh (UU PA).

Kontribusi kecil “damai” Muhammadiyah baik secara organisasi maupun lewat tokohnya di Aceh terlihat jelas pada masa “perang” antara GAM-RI hingga lahirnya Nota Kesepahaman Damai “MoU” pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Peran tersebut terus berlanjut hingga lahirnya UU PA sebagai identitas baru bagi Aceh yang “Istimewa dan Khusus”. Namun beberapa waktu terakhir, Muhammadiyah terkesan menarik diri dalam sepi, menjaga jarak dan hanya fokus mengurus diri sendiri tanpa terus mengambil peran sebagai “penjaga moral” dalam implementasi UU PA serta menjadi mitra strategis konstruktif Pemerintahan Aceh. Sikap sepi ini seakan mengikuti gerakan “apatisme” segenap elemen di Aceh ditengah frustasi “mimpi” Aceh yang belum tergapai.

Tema yang diusung dalam Musywil PWM Aceh Ke-39 di Bireun ” Memperkuat Syariat, Memajukan Ummat”, sinyal kembalinya Muhammadiyah Aceh pada tradisinya. Muhammadiyah Aceh selama ini selalu mengambil peran untuk membantu mewujudkan cita-cita konstitusi negara yang berkeadilan sosial. Di Aceh, Muhammadiyah punya tradisi melekat dengan keinginan dan tujuan masyarakat Aceh yang ingin hidup bermartabat, berkeadilan, religius dan berkemajuan dalam semua aspek kehidupan.

Harapan Pj Gubernur Aceh kepada Muhammadiyah adalah hal yang serius. Peran serta diharapkan dalam hal pembangunan, pengawasan, dan pelaksanaan syariat Islam. Hilir dari harapan ini agar dapat mewujudkan cita-cita Aceh yang berkemajuan dengan pelaksanaan Syariat Islam sebagai bingkainya. Muhammadiyah Aceh juga harus aktif dan kontributif kembali, terkait rencana revisi UU PA dimana salah satu isu utamanya “dana otonomi khusus” yang berakhir tahun 2027 agar terus berlanjut tanpa batas waktu dan tetap dengan besaran seperti semula Otsus diberlakukan.

Permasalahan Pemerintahan dan Rakyat Aceh kekinian yang kompleks juga sudah seharusnya menjadi “kewajiban” Muhammadiyah Aceh turut meringankannya bersama-sama dengan komponen lainnya. Peran Muhammadiyah yang “diperluas” ini tentu tetap dengan khas utama yang sejuk, berkeadaban,menyatukan, serta menyerukan kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Peran Muhammadiyah untuk internal dan eksternal dalam uraian catatan kecil ini, menjadi “mimpi indah” bila energi organisasi yang mempunyai deposit semangat baru tinggi mampu di harmoni dan sinergikan oleh para pimpinan 13 PWM Aceh baru terpilih beberapa hari yang lalu di “Kota Santri dan Kota Juang” Bireuen. Bila melihat kapasitas dan komposisi PWM Aceh terpilih, tidak ada keraguan pada mereka secara kolektif kolegial.

Iklim keterbukaan Muhammadiyah harus benar-benar diwujudkan juga dengan membangun semangat kebersamaan dengan elemen ormas keagamaan dan komponen lainnya di Aceh. Kebersamaan dengan beragam komponen syarat mutlak dalam urusan kepentingan ummat secara luas. Tidak kalah pentingnya adalah agar Muhammadiyah juga tetap turut mengambil tanggungjawab sosial serta moral agar nilai “adat” dan “syariat” tetap membumi dalam prilaku ummat di Aceh.

Muhammadiyah Aceh berdiri menempatkan diri menjaga kondusifitas jarak dan kedekatan yang sama dengan semua kekuatan politik di Aceh. Muhammadiyah memang tidak berpolitik, namun Muhammadiyah perlu mewarnai politik dengan nilai keadaban “Tauhid Politik” agar energi politik dapat digunakan untuk kemaslahatan rakyat dan ummat.

Sudah semestinya “Aceh Berkemajuan” yang dibingkai “Syariat Islam” merupakan misi suci dan kewajiban bagi Muhammadiyah untuk turut mewujudkannya. Bukankah tema Musywil telah ditabuh dan ikrarkan?. Bukankah juga Muhammadiyah Aceh telah turut serta berkontribusi dalam lintasan sejarah Aceh pada setiap fasenya?. Ditunggu kiprah para “13 Ayahanda” PWM Aceh masa khidmat 2022-2027. “Fastabiqul Khairat”, ”Nashrun Minallah wa Fathun Qarib”.

*)Sekretaris – PDM Kabupaten Aceh Tenggara, Peserta Musyawarah Wilayah, PWM Aceh Ke-39 di Bireun pada tanggal 4-5 Maret 2023.

  • Koresponden : Masri Amin – Sekretaris PDM Kabupaten Aceh Tenggara
  • Publisher : Suhendra

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *