
Alkisah, ada seseorang yang berkendara di jalan raya. Ia mengenakan helm standar, dokumennya pun lengkap, dan semua perangkat kendaraannya sesuai dengan aturan. Namun, tiba-tiba ia dicegat oleh polisi lalu lintas dan dinyatakan melanggar tata tertib jalan raya. Tentu saja ia berang dan tidak terima, “Apa salah saya, Pak Polisi?”. Sambil tersenyum, polisi lalu lintas tersebut menunjuk papan rambu-rambu dan berkata, “Maaf, Pak. Ini ruas jalan satu arah. Anda merlawan arus”.
Jadi, disitulah letak permasalahannya. Meski semua perlengkapan sudah dipenuhi, dan secara mental sangat percaya diri karena dokumen juga ada, namun itu saja ternyata tidak cukup. Seseorang harus mengerti bagaimana berperilaku secara benar dan memahami tertib di jalan raya. Ada jalur yang dikhususkan bagi roda empat, tidak semua tikungan diperbolehkan belok, dan tidak semua tempat bisa dijadikan tempat parkir. Masih banyak lagi yang mestinya dipatuhi demi kebaikan bersama di jalan raya.
Lalu, apa relevansi cerita tersebut di atas dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam? Mari kita simak kisah lain. Suatu ketika, seorang Tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab (wafat tahun ke 93H) melihat seseorang mengerjakan shalat dua rakaat setelah ashar dan ia memperbanyaknya. Sa’id bin Musayyab pun menegurnya dan memintanya agar tidak mengulanginya lagi, karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan demikian. Orang lalu berkata, Wahai Abu Muhammad (yakni, nama kunyah Sa’id bin Musayyab), apakah Allah Ta’ala akan menyiksaku karena shalat?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah menyiksamu karena engkau menyalahi Sunnah Nabi-Nya”. (Riwayat ad-Darimi, isnadnya jayyid).
Disinilah letak utama permasalahannya. Melaksanakan shalat nafilah (sunnah) adalah suatu kebaikan, namun melakukannya tanpa bimbingan dan petunjuk Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah kemaksiatan. Semata-mata berniat baik dalam beribadah saja tidak cukup, karena ibadah juga harus dilakukan sesuai petunjuk Sunnah Nabi. Ibadah yang dikerjakan tanpa berpedoman pada Sunnah Nabi meski berniat baik itu ibarat berkendara tanpa mematuhi peraturan lalu lintas. Secara lahiriah,ibadah seperti ini akan terlihat baik-baik saja dan tidak bermasalah, namun secara ruhiyah dan syar’iyah tidak ada manfaatnya sedikitpun, bahkan mendatangkan bahaya karena dianggap mengada-ada (bid’ah). Bisa diibaratkan dengan orang sakit yang minum obat. Dari segi jenis, komposisi, merk, indikasi, semua sudah tepat dan berdasarkan resep dokter. Apakah ini saja sudah memadai? Belum, karena ia juga harus memperhatikan petunjuk pemakaian pbat atau dosisnya dan juga waktu minum obatnya.
Masalah ini menjadi penting untuk diulas, karena ada “ibadah-ibadah” tertentu yang menyebar di tengah-tengah umat, yang mengesankan keshalihan luar biasa, tetapi tidak ada dalilnya. Misalnya berpuasa di awal bulan Rajab hingga tanggal 7, melaksanakan shalat-shalat yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan lainnya. Ada yang berpuasa dengan cara yang keliru, misalnya puasa tapi tidak memakan makanan yang bernyawa, atau perilaku dan budaya lainnya, sehingga mengesankan mujahadah dan kesungguhan yang dalam. Namun, karena tidak ada dasar syariat yang bisa dipertanggungjawabakan dalilnya, maka perilaku seperti ini patut dipertanyakan. Itulah sebabnya mengapa Allah memerintahkan kepada kita agar dalam beribadah benar-benar memurnikan ketaatan dan keikhlasan serta di atas petunjuk agama yang lurus, yakni berdasarkan petunjuk Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Ada sebuah kisah lain yang bisa membuat kita menjadi lebih mawas diri dengan ibadah-ibadah yang tidak ada dasar tuntunannya. Suatu kali, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat seseorang berjalan dengan dipapah di antara dua orang. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Ada apa dengan orang ini?” Ternyata, orang itu bernazar untuk berjalan kaki menuju Baitullah. Mendengar hal itu, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah tidak butuh kepada orang yang menyiksa dirinya sendiri. Suruh dia naik kendaraan”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan an-Nasa’i dari Anas bin Malik).
Sesungguhnya Allah memberi kita beban kewajiban (taklif) yang telah ditakar setimbang dengan kemampuan dan fitrah manusiawi kita. Dan hal ini juga menjadi standar sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 286, yakni: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. Banyak ibadah-ibadah yang dibuat-buat itu pada kenyataannya justru menyiksa diri dan berlebih-lebihan bahkan mengada-ada hingga menjadi bid’ah. Padahal Allah tidak memerintahkan kepada kita untuk melakukannya.
Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk selalu menuntut ilmu dan beramal dengan ilmu. Allah juga mengajarkan doa kepada kita sebagaimana di penghujung surat Al-Fatihah yang menjadi bacaan wajib di tiap-tiap rakaat shalat, agar kita senantiasa memohon petunjuk jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah diberikan kenikmatan oleh Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai-Nya dan bukan juga jalan orang-orang yang disesatkan-Nya. Para ulama sepakat bahwa jalan yang lurus hanya Islam, yang dimurkai itu adalah kaum Yahudi dan yang disesatkan adalah kaum Nasrani. Kemurkaan Allah terhadap Yahudi karena mereka berilmu tapi tidak beramal dan banyak melakukan kejahatan, sedangkan Nasrani yang disesatkan Allah karena mereka beribadah tanpa ilmu dan ragu-ragu. Itu sebabnya, Allah mengajari kita agar tidak meniru salah satu dari kedua kaum tersebut.
Mari belajar, meraih ilmu yang benar dan kemudian mewujudkannya dengan beramal shalih. Jangan pernah meniru perilaku kedua kaum itu, karena mereka hanya berusaha agar umat Islam ini juga menjadi sama seperti mereka. Sungguh, melanggar Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu sangat berbahaya, sama berbahayanya dengan beramal tanpa ilmu dan berilmu tanpa beramal. Wallahu a’lam bish-shawwab.
- Penulis : Dr. Nursanjaya Abdullah
- Editor : Suhendra