Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan, dan ini menjadikan manusia kemudian saling membangun komunikasi lewat beragam cara dan bentuk. Salah satunya adalah melalui diskusi. Diskusi adalah tindakan atau proses berbicara tentang sesuatu untuk mencapai keputusan atau untuk bertukar ide. Diskusi adalah bentuk interaksi dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan dua atau lebih orang untuk membahas dan mencari solusi dari sebuah masalah.

Diskusi dapat menjadi strategi yang baik untuk meningkatkan motivasi, menumbuhkan kelincahan intelektual, dan mendorong kebiasaan musyawarah secara demokratis. Diskusi menciptakan kesempatan bagi seseorang untuk berlatih dan mempertajam sejumlah keterampilan, seperti kemampuan untuk mengartikulasikan dan mempertahankan posisi, mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda, dan meminta serta mengevaluasi bukti.

Diskusi merupakan kegiatan yang wajar dilakukan seseorang dalam memecahkan suatu masalah. Namun, tidak akan ada diskusi yang baik dan mencerahkan jika semangatnya untuk saling menjatuhkan, bukan dalam kerangka mencari kebenaran. Tidak ada semangat bermusyawarah ketika ambisinya adalah kemenangan pribadi, bukan kebaikan bersama. Ada saatnya kita harus menghindari perdebatan dan berhenti darinya ketika debat sudah mengarah pada perpecahan (mira’), dengan berharap ganjaran pahala yang sangat besar, yakni rumah di surga yang Allah janjikan. Menghindari jidal (perdebatan) yang seperti ini, meskipun kita berada di pihak yang benar, besar pahalanya disisi Allah.

Berdiskusi tentang ilmu itu mulia dan penuh kebermanfaatan, namun memperdebatkannya sangat buruk. Diskusi yang baik akan membuka pikiran dan wawasan serta mendekatkan hati sesama penuntut ilmu. Adapun memperdebatkan ilmu, maka ingatlah perkataan Imam Malik bin Anas rahimahullah, “Perdebatan tentang ilmu itu membuat hati keras dan menimbulkan kedengkian”. Di kesempatan lain, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Perdebatan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat”.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat” Lalu beliau membaca (ayat): “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”.

Saudaraku, salah satu bekal menuntut ilmu adalah menahan diri dari berdebat untuk maksud berbantah-bantahan dan menjatuhkan lawan bicara. jika diskusi sudah mengarah pada mira’ (perdebatan), maka segera ingatkan diri dan teman diskusi serta perbanyak istighfar kepada Allah. Tetapi jika tetap saja diajak untuk terus melakukan perdebatan yang tidak ada manfaatnya, maka sikap memilih untuk berhenti dan tidak melanjutkan perdebatan itu lebih utama meski resiko disangka tidak berani atau kalah. Karena sangat jauh berbeda antara penakut dengan orang yang menahan diri dari hal-hal yang membawa mafsadat (kerusakan).

Al-Auza’i mengingatkan bahwa “Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, maka Allah menetapkan jidal (perdebatan) pada diri mereka dan menghalangi mereka dari amal”. Karena itu, perilaku yang paling benar untuk menghindari keburukan perdebatan adalah dengan mengusung semangat untuk saling mengalah dalam perdebatan yang tidak mendapatkan manfaat apapun, selain hanya kemarahan dan permusuhan. Tindakan terpuji adalah ketika kita mampu menahan diri dan memilih untuk mengalah dari debat kusir, karena “kita tidak akan bisa menang debat melawan orang yang bodoh dan tidak beradab“, seperti sebuah ungkapan yakni

وما جادلني جاهلٌ إلا وغلبني

“Tidaklah aku mendebat orang bodoh, pasti aku akan kalah”

Berdebat (apalagi di media sosial) menimbulkan banyak kerugian, pertama, membuang-buang waktu yang berharga, karena waktu kita akan habis untuk berdebat kusir yang terkadang tidak ada ujungnya. Kedua, mengeraskan hati karena sering sakit hati dan berniat membalas. Padahal tujuan dakwah adalah menasihati dan yang namanya nasihat itu menghendaki kebaikan pada saudaranya, seperti yang termaktub dalam semangat QS. Al-‘Ashr. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan bahwa agama itu adalah nasihat (HR. Muslim, 55/95).

Ketiga, berdebat hanya akan menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin, padahal kita diperintahkan agar bersatu dan menjadi saudara seiman, dilarang berpecah-belah apalagi saling menjatuhkan. Nabi Sulaiman ‘alaihis sallam dalam riwayat Imam al-Baihaqi (Syu’abul Iman, 8076) berkata kepada anaknya, Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara”.

Keempat, mengalah dan meninggalkan debat, walaupun nantinya dikira akan kalah, karena tindakan ini bukanlah kalah yang sesungguhnya. Mengalah untuk menang, mundur selangkah untuk melompat jauh ke depan. itulah kemenangan bagi mereka yang berjiwa besar menghindari perdebatan yang tidak berguna. Oleh karena itu mengalah dan meninggalkan perdebatan, pahalanya sangat besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga”. (Shahih at-Targib wat Tarhib, jilid 1, no. 138).

Kelima, walaupun sebenarnya  kita bisa menang dalam berdebat, akan tetapi bisa jadi orang yang diajak berdebat menolak kebenaran yang kita sampaikan karena gengsi kalah, padahal dia mengakui kebenaran telah datang. Bahkan hal ini juga sudah diperingatkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa sikap tidak mau mengakui kebenaran yang datang dan merendahkan manusia adalah bentuk kesombongan, dan ini efek buruk dari perdebatan yang tidak membawa manfaat sedikitpun.

Saudaraku, kadang dakwah yang kita lakukan ditolak bukan karena materinya yang salah atau orang yang menyampaikan dianggap buruk, tetapi cara dan strategi dakwah kita yang tidak dapat diterima. Salah satunya adalah dakwah dengan debat kusir yang tidak bermanfaat. Sekali lagi dakwah itu untuk kebaikan dan berniat kebaikan, perhatikan betapa tawadhu’-nya Imam Syafi’i, beliau berkata, Tidaklah aku mendebat seseorang melainkan dalam rangka memberi nasihat”. Mari berdiskusi dengan baik dan menggembirakan, bukan bersemangat untuk saling menjatuhkan dan menumbuhkan kebencian. Diskusi yang baik dan santun akan melahirkan kasih sayang dan pencerahan keilmuan, karena tidak akan pernah bahagia orang yang suka berdebat, dan kita tidak akan pernah mendapati seseorang yang suka berdebat kecuali hatinya tersimpan penyakit. Wallahu a’lam bish-shawwab.

  • Koresponden : Nursanjaya AbdullahWakil Ketua PDM Kota Langsa
  • Publisher : Suhendra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *