Bermuhammadiyah, beramal, bergembira;

Berorganisasi, bersilaturrahim, bertoleransi;

Pahala dicari, dosa dihindari, ukhuwwah dijalani;

Mensejahterakan diri, keluarga dan masyarakat bersama-sama.

Sebelum ini sudah dijelaskan bahwa Muhammadiyah melakukan dua gerakan pembaharuan, yaitu ishlah (aktualisasi) pada amal usaha dan tajdid pada paham agama (modernisasi pemikiran). Gerakan ishlah yang berisi pembaharuan pada tataran praktis amal sosial, telah dijelaskan pada tulisan sebelum ini. Sedang kegiatan tajdid yang berisi pembaharuan pemikiran dan pemahaman agama, yaitu upaya untuk melakukan pemahaman ulang atas Al-qur’an dan hadis Rasulullah karena ada keperluan pada masa sekarang, dengan cara memanfaatkan capaian pengetahuan ilmiah secara proporsional, akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Warga Muhammadiyah sama seperti umat Islam lainnya, yakin sekali bahwa dasar utama ajaran Islam adalah Al-qur’an, yang Allah jaga keasliannya sehingga tidak akan berubah dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Kalau ada orang yang berusaha mengubah atau memalsukan ayat Al-qur’an maka upaya itu akan cepat ketahuan, sehingga dapat digagalkan. Adapun pemahaman atau penafsiran atas Al-qur’an merupakan ruang kegiatan manusia, yang disepakati sebagai kegiatan ijtihad (olah pikir) yang hasilnya boleh berbeda-beda, dan lebih dari itu tetap dapat dikembangkan atau diubah. Jadi pemahaman (ijtihad) atas Al-qur’an diberi izin untuk diubah dan diperbaharui sekiranya diperlukan. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud Nabi bersabda yang maknanya lebih kurang, Sesungguhnya Allah mengutus pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang akan memperbaharui agamanya.

Sejarah mencatat bahwa Sahabat sudah melakukan pemahaman (ijtihad) atas banyak ayat dan hadis, dan mereka sering sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Hal ini dicatat dalam sejarah dan mudah ditemukan sekiranya berusaha untuk menel itinya. Setelah Sahabat para imam mazhab juga melakukan ijtihad yang oleh para ulama dianggap lebih sistematis dan lebih menyeluruh dibandingkan dengan apa yang di lakukan Sahabat. Hasil pemikiran mereka dinyatakan sebagai mazhab-mazhab (dalam ilmu fiqih) dan al iran-al iran (dalam ilmu kalam) yang sampai batas tertentu berbeda-beda. Di dalam mazhab pun dalam perjalanan waktu mucul pendapat-pendapat baru yang berbeda dengan pendapat imam mazhab, yang dikemukakan para ulama dari berbagai generasi. Secara lebih khusus para ulama tahu bahwa Imam Syafi`i pernah mengeluarkan pendapat dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, namun setelah itu beliau mengubahnya. Pendapat yang pertama beliau keluarkan ketika masih tinggal di Bagdad disebut Qaul Qadim (pendapat lama), sedang pendapat kedua yang bel iau keluarkan setelah pindah ke Mesir, yang mengubah pendapat lama, disebut Qaul jadid (pendapat baru).

Muhammadiyah sejak awal berdiri menyatakan diri tidak menjadi pengikut mazhab tertentu dan tidak menghubungkan diri dengan mazhab-mazhab yang ada. Muhammadiyah merasa bebas untuk memilih pendapat yang dianggap lebih kuat atau lebih maslahat dari berbagai pendapat yang ada, walaupun berasal dari mazhab yang berbeda-beda. Bahkan Muhammadiyah tidak keberatan untuk membuat pendapat baru (keluar dari pendapat yang ada di dalam mazhab) sekiranya dianggap mempunyai dalil yang memenuhi syarat dan dianggap lebih maslahat ketika dilaksanakan. Contoh yang mudah dan sering terlihat, Muhammadiyah melaksanakan shalat tarawih empat rakaat sekali salam, sedang mazhab-mazhab yang ada berpendapat sebaiknya dikerjakan dua rakaat sekali salam. Muhammadiyah mau mempraktekkan empat rakaat sekali salam karena ada hadis yang memenuhi syarat yang dapat digunakan sebagai dalil. Muhammadiyah setuju bahkan menganjurkan agar khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang dipahami oleh mayoritas jamaah. Muhammadiyah menganggap boleh menyampaikan khutbah bukan dalam bahasa Arab, karena isi khutbah adalah nasehat atau pengajaran untuk dipahami jamaah, walaupun Nabi selalu menyampaikan khutbah di dalam Bahasa Arab. Pendapat yang berbeda dengan pendapat lama yang relatif paling kontroversial yang dikemukakan dan diamalkan Muhammadiyah karena menerima hasil pengetahuan ilmiah adalah metode penetapan awal bulan qamariah.

Muhammadiyah berpendapat bahwa penetapan awal bulan qamariah lebih maslahat, lebih lapang dan lebih meyakinkan sekiranya ditetapkan berdasarkan perhitungan hisab hakiki (wujud-ul hi lal, berdasar keberadaan hi lal di atas ufuk). Maksudnya berdasar perhitungan i lmu falak penuh, tanpa mengaitkannya lagi dengan kemungkinan rukyah. Jadi bukan lagi berdasarkan rukyat atau hisab imkan-ur rukyat. Sedang pendapat yang ada di kalangan kaum muslimin secara umum cenderung mengutamakan rukyah (melihat hilal langsung dengan mata fisik, tidak perlu perhitungan ilmiah) atau hisab imkanur[1]rukyah (perhitungan ilmiah [hisab] yang disejalankan dengan kemungkinan rukyah). Pendapat Muhammadiyah tentang hal ini, sepengetahuan penulis merupakan pendapat baru yang tidak ditemukan dalam semua al iran dan kelompok yang ada. Contoh lain yang pal ing akhir adalah penerimaan atas COVID 19. Muhammadiyah meyakini penyakit (wabah) ini ada dan untuk menghindari penularannya, di samping berdoa kepada Allah SWT. Muhammadiyah menganjurkan penggunaan metode ilmiah, seperti menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan melakukan vaksinasi. Muhamamdiyah tidak malu-malu memerintahkan semua masjid Muhammadiyah menjarangkan shaf ketika shalat berjamaah, dan bahkan menunda muktamar sampai dua tahun untuk mencegah penularannya. Muhammadiyah juga tidak keberatan untuk mengubah pendapat yang ada, yang didasarkan kepada penelitian ilmiah, ketika pendapat tersebut diketahui kurang tepat. Misalnya saja Muhammadiyah melakukan penel itian ulang mengenai makna terbit fajar secara ilmiah, dan sampai pada kesimpulan bahwa penetapan waktu shalat Subuh yang ada sekarang terlalu cepat. Untuk itu Muhamamdiyah meperlambatnya sekitar delapan menit (mengubah dari -200 menjadi -180), sama seperti yang digunakan di Malaysia, Turki, Nigeria dan beberapa negara lainnya).

Secara sederhana orientasi pemahaman agama di kalangan umat Islam dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, salafiah, mazhabiah dan tajdidiah. Salafiah merupakan cara berpikir yang secara umum cenderung mengikuti cara penafsiran dan pendapat yang dikemukakan para Sahabat. Sahabat merupakan idola dalam pemahaman gama, karena mereka satu-satunya generasi yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah.

Sahabat menurut hasil penelitian ilmiah sekarang, cenderung memahami Al-qur’an dan hadis secara sederhana, menyelesaikan masalah ketika sudah muncul, kasus perkasus secara terpisah-pisah, mengikuti pengalaman mereka hidup bersama Rasulul lah. Para pengikut salafiah secara umum ingin mengikuti pendapat bahkan model pemahaman Sahabat, tidak berusaha memikirkan isi Al-qur’an secara sitematis dan padu, apalagi secara ilmiah akademik. Sunnah menurut mereka cenderung dipahami sebagai mengikuti praktek (hadis) Nabi secara harfiah dalam masalah-masalah yang mereka anggap sebagai ibadah. Sedangkaan bid`ah cenderung dipahami sebagai semua ibadah yang tidak dipraktekkan atau tidak diajarkan Nabi.

Mereka cenderung tidak berusaha mengaitkan pemahaman agama dengan kemajuan pengetahuan ilmiah dan perbedaan budaya diantara bangsa-bangsa muslimin. Pemahaman dan pengamalan agama tidak perlu dikaitkan dengan ni lai-ni lai atau prinsip-prinsip, cukup sekedar di jalani menurut apa adanya seperti yang dipahami dan dipraktekkan Sahabat. Pendidikan yang wajib di ikuti dan diutamakan untuk anak[1]anak hanyalah untuk keselamatan dan kebahagiaan di akhirat, sedang pendidikan untuk kesejahteraan di dunia (tugas menjadi “khal ifah”) cukup sekedarnya saja. Sedikit sekali perhatian untuk menguasai teknologi dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan tentang barang-barang hasil teknologi cukup untuk sekedar dapat mengkonsumsinya, tidak perlu berusaha untuk mampu menjadi produsennya. Karena ada hadis bahwa Nabi mempraktekkan bekam sebagai cara pengobatan misalnya, dan Sahabat mengamalkan hadis ini secara luas, maka sebagian umat Islam mengikuti praktek Sahabat ini, tanpa memikirkan apakah praktek itu bagian dari menjalankan ajaran agama (akan berpahala, diberi hukum sunat atau wajib) atau merupakan bagian dari penggunaan teknologi (meniru pengobatan/kedokteran abad ketujuh Masehi yang sekarang sudah berkembang pesat menjadi pengetahuan kedokteran abad dua puluh satu).

Model pemahaman kedua, mazhabiah, merupakan cara berpikir yang cenderung berusaha membatasi diri untuk hanya mengikuti pendapat dalam sebuah mazhab tertentu. Sedang mazhab merupakan sekumpulan pendapat yang sudah disusun secara sistematis, yang dipilih oleh imam mazhab dari pendapat-pendapat Sahabat dengan metode tertentu. Pendapat yang di tangan Sahabat masih tercerai berai dan belum menggunakan istilah baku, oleh imam mazhab dan pengikutnya disusun sehingga relatif sistematis dan di jelaskan dengan isti lah-isti lah yang secara perlahan-lahan berhasi l mereka bakukan. Metode yang mereka gunakan menurut penel itian sekarang dikelompokkan ke dalam bayaniah, tidak masuk ke dalam kelompok burhaniah. Para ulama mazhab berhasi l menyusun peristi lahan baku untuk menjelaskan pemahaman dan penafsiran Al[1]qur’an di bidang fiqih seperti hukum taklifi yang disusun secara hirarkis menjadi waj ib, sunat, mubah, makruh dan haram dan juga hukum wadh`i seperti sebab, syarat, mani`, sah dan batal. Dengan demikian sebuah perbuatan seperti shalat, zakat, jual bel i, nikah, dan talaq sudah lebih mudah dipahami karena sudah di jelaskan dengan perisiti lahan-peristi lahan baku, seperti apa yang menjadi hukum takl ifinya dan apa yang menjadi rukun dan syaratnya. Pengikut mazhabiah masa sekarang relatif lebih mudah menerima kehadiran pendidikan yang berisi pengetahuan dan teknologi, karena ulama mazhab pada masa lalu sudah menerima logika Yunani dan berbagai pengetahuan yang ada pada masa itu dan bahkan berusaha mengembangkannya. Para pengikut (ulama) mazhab ada yang menjadi tokoh besar yang tetap dikenang sampai masa sekarang, seperti Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, al-Mas`udi dalam bidang sejarah, geografi, geologi dan zoologi. Sebagai pemikir dan ahli strategi perang muncul nama Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih. Mazhab juga dapat menerima tasauf individual, yang melahirkan tokoh seperti al-Ghazali dan Jalaluddin al-Rumi, dan tasauf organisasi yang melahirkan banyak tarikat. Ulama mazhab ada yang menerima fi lsafat bahkan menjadi tokohnya yang penting seperti Ibnu Rusyd, namun ada juga yang menolaknya seperti al-Ghazali. Sunnah menurut pengikut mazhabiah cenderung dipahami mencakup semua ibadah yang disebutkan di dalam hadis atau yang dapat disimpulkan dari hadis Nabi. Sedangkan bid`ah semua ibadah yang tidak mempunyai dalil dari Nabi.

Model pemahaman ketiga, tajdidiah secara umum merupakan pemahaman yang tidak merasa terikat dengan dua kelompok sebelumnya, bahkan tidak keberatan melahirkan pendapat baru sebagai alternatif atas pendapat dalam dua aliran sebelumnya. Aliran ketiga ini diupayakan untuk lahir karena ada beberapa alasan penting. Pertama ada hadis Nabi bahwa pada setiap seratus tahun akan selalu ada para ulama pembaharu. Kedua untuk menjawab tantangan kenapa bangsa[1]bangsa lain lebih unggul dalam bidang pengetahuan i lmiah dan teknologi sedang umat Islam tertinggal.

Perlu pencarian dan perenungan mendalam tentang nilai-nilai Islami yang menjadikan kaum muslimin masa lalu menjadi bangsa yang unggul dalam pengetahuan ilmiah, teknologi, politik dan militer, sebaliknya sekarang ini menjadi bangsa yang lemah dan bahkan pernah di jajah secara langsung oleh bangsa non musl im. Salah satu kesimpulan yang dicapai, perlu perbaikan dan pembaharuan pada cara menafsirkan dan memahami Al-qur’an. Capaian pengetahuan ilmiah dan teknologi perlu dipelajari secara kritis, yang dianggap bermanfaat akan diambil, diterima bahkan dikembangkan, sebal iknya yang dianggap merugikan akan dibuang dan disingkirkan. Untuk itu perlu perbaikan dalam sistem dan materi pendidikan. Sunnah oleh kelompok tajdidiah dipahami sebagai semua pendapat mengenai ibadah yang pernah diamalkan Nabi atau dapat disimpulkan dari hadis Nabi, baik yang dipahami secara literal ataupun yang dipahami melalui metode-metode lain yang dianggap memenuhi syarat (ilmiah akademik). Bid`ah oleh kelompok ini dipahami sebagai ibadah/amalan yang sama sekali tidak mempunyai dalil. Muhammadiyah masuk dalam kelompok yang ketiga ini. Sekedar contoh bagaimana Muhammadiyah melahirkan pemahaman baru telah diuraikan di atas dan karena itu tidak ditambah lagi. Keberadaan pengikut mazhabiah dan perbedaannya dengan Muhamamdiyah sudah diketahui dan dirasakan sejak lama, karena kaum musl imin Indonesia sejak masa awal sudah menjadi pengikut mazhab khususnya mazhab Syafi`iah. Muhammadiyah dan pengikut mazhab sudah hidup berdampingan secara relatif damai untuk waktu yang lama, walaupun riak-riak perbedaan dan persinggungan kadang-kadang dan sesekali muncul di tempat tertentu di lapisan akar rumput. Tetapi secara umum masing[1]masing kelompok memahami kehadiran saudaranya yang berbeda pemahaman dan hidup dalam ikatan ukhuwwah islamiah dan hubungan silaturrahim yang sal ing menghargai. Adapun perbedaan Muhammadiyah dengan salafiah relatif tidak sejelas perbedaan dengan mazhabiah dan hal ini in sya al lah akan penulis uraikan dalam tul isan yang akan datang. Wal lahu a`lam bish-shawab.

  • Koresponden :  Al Yasa` Abubakar, Ketua PWM Aceh Periode 2005-2010 dan 2010-2015
  • Publisher :  Suhendra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *