
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Aceh
Ada kelompok keagamaan yang disebut Salafi. Penggunaan kata Salafi berangkat dari semangat mengikuti generasi Salafus Shaleh, yakni generasi Rasulullah SAW, generasi para Sahabat dan generasi Tabiin. Sampai sebatas ini maka Salafi dengan Muhammadiyah bisa dikatakan hampir sama. Akan tetapi cara menyandarkan diri pada generasi Salafus Shaleh terdapat perbedaan yang nanti akan dijelaskan.
Salafi dalam perkembangan terjadi perpecahan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok Salafi yang keras dan tegas, ada yang menyebut sebagai Salafi Yamani, karena sebagian pengikuti Salafi ini berguru dengan Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i yang berada di Yaman. Di antara ulama yang menjadi rujukan mereka selain Syeikh Muqbil, adalah Syaikh DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, yang berada di Madinah. Syaikh ini agak terlalu keras.
Kelompok kedua adalah Salafi yang agak lunak dan lembut. Ulama yang menjadi rujukan mereka adalah ulama Arab Saudi secara umum, seperti Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih al-Fauzan, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Bany di Yordania dan juga Syaikh Salim bin Id al-Hilali Direktur Markaz Al Imam Al-Albany.
Sikap Salafi Yamani yang keras ditunjukkan dengan sukanya mereka mentahzir/membaikot atau tidak bergaul secara baik dengan kelompok atau orang-orang yang berbeda dengan mereka, karena dianggap Ahlu Bid’ah atau telah sesat. Mereka dengan begitu berani mencap kelompok atau orang-orang yang bertentangan dengan mereka sebagai hizbiyah, sururi, ikhwani, khawarij, Ahlu Hawa dan sebagainya. Sasaran mereka biasanya Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh dan lainnya
Sikap kelompok Salafi yang lembut, tidak terlalu suka mentahzir. Mereka berpandangan dalam mentahzir ahlu bid’ah melihat mamfaat dan mafsadadnya. Jika yang ditahzir semakin jauh dari sunnah maka tahzir tidak bermamfaat dan malah merugikan. Maka dalam kondisi seperti itu harus dilakukan pendekatan dakwah yang penuh hikmah dengan merebut hatinya bukan dengan membaikotnya.
Maraknya kelompok Salafi di Indonesia kira-kira tahun sembilan puluhan. Saat itu muncul tokoh-tokoh seperti Jakfar Umar Thalib, Muhammad Umar as-Sewed, dan lainnya yang mewakili kelompok keras, dan muncul pula Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Abdul Hakim Abdat, Abu Nida, Fariq Qasim Anus, dan lainnya dari Salafi lembut.
Salafi keras di Aceh, kemunculan pertamanya dibawah binaan ust Ali Basuki, alumni Universitas Islam Madinah. Dalam perjalanan dakwahnya terkadang terjadi benturan dengan kelompok lainnya, khususnya dalam sikap men”tahzir”, termasuk ketidakharmonisan dengan Salafi lembut yang mulai eksis di Banda Aceh. Keberadaan Salafi lembut di Aceh dapat dikatakan mulai terasa sejak ust Muhammad Zaitun Rasmin dan ust Aswanto datang ke Banda Aceh dari Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makasar melaksanakan pengajian yang difasilitasi oleh Abu Nu.
Ketika terjadi musibah Tsunami di Aceh Akhir Desember 2014, berdatangan lah yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga atau NGO dari dalam maupun luar negeri memberikan bantuan, bukan hanya bantuan fisik tetapi juga bantuan rohani. Saat itu datang pula Yayasan al-Sofwa Jakarta membawa bantuan sosial, pendidikan dan dakwah.
Yayasan al-Sofwa membuat pengajian-pengajian bekerjasama dengan pihak dan lembaga tertentu seperti dengan PT Arun Lhokseumawe. Mereka mendatangkan da’i-da’i yang dikenal bermanhaj salaf seperti ustaz Abu Qatadah, ustaz Muhammad Wujud, ustaz Fariq Anuz, ustaz Zainal Abidin, ustaz Khalid Syamhudi, ustaz Ibrahim Said, ust Abdullah al-Hadrami, ust. Agus Hasan Bashori dan lainnya.
Muhammadiyah dalam mengikuti generasi Shalafus Shaleh lebih fleksibel, selektif dan kontekstual, sementara Salafi agak kaku dan tekstual. Hal ini bisa dilihat dari sikap Salafi yang menolak ilmu hisab dalam penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Mereka beranggapan menentukan awal bulan dengan metode hisab tidak ada pada generasi Shalafus Shaleh. Di antara mereka ada yang mengatakan metode tersebut termasuk bid’ah karena tidak dilakukan di masa Nabi Saw. Mereka mengharuskan untuk menentukan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah dengan metode rukyah, yakni dengan melihat anak bulan atau hilal bulan. Bahkan mereka mengatakan melihat hilal Ramadhan dan Syawal adalah ibadah, karena dalam hadis, Nabi Saw memerintahkan untuk melihat anak bulan.
Berbeda dengan Salafi, Muhammadiyah beranggapan penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal bukan ibadah melainkan hanya medote dalam menentukan waktu untuk beribadah, yang ibadah puasanya dan shalat Aidul Fitrinya. Karena masalah metode, maka metode dapat berubah sesuai dengan kemajuan zaman, yang tidak boleh berubah ibadahnya. Metode penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal juga Zulhijjah di masa Nabi Saw yang paling akurat adalah dengan melihat anak bulan, atau hilal. Alam mendukung, dan bangsa Arab sudah biasa melakukan hal itu. Pada masa Nabi Saw, ilmu hisab belum ada maka satu-satunya cara yang paling tepat menentukan awal bulan adalah dengan melihat hilal.
Akan tetapi zaman sekarang, apalagi di Indonesia, kondisi alam tidak begitu mendukung untuk dapat melihat anak bulan atau hilal secara jelas. Hal itu karena pengaruh letak Indonesia di bawah garis khatulistiwa, juga kerusakan lingkungan global yang menimpa bumi. Oleh karena itu, satu-satunya metode yang tepat, didukung dengan ilmu pengetahuan moderen, dengan hitungan dan rumusan yang diakui bersama, juga berdasarkan keterangan ayat al-Qur’an dan Hadis-hadits Nabi Saw yang shahih, maka tidak ada cara yang lebih baik dan hasilnya pun akan sama di seluruh dunia adalah menentukan awal bulan dengan ilmu hisab. Dengan sikap keilmuan seperti ini akan terwujudlah kalender Islam dimana seluruh umat Islam di dunia akan sama berpuasa Ramadhan, berhari raya dan berhaji di seluruh dunia.
Demikian juga dalam memahami soal pakaian, Salafi berusaha berpakaian sebagaimana yang dipraktekkan di masa Shalafus Shaleh. Muhammadiyah membatasi diri pada syariatnya yakni Rasulullah Saw tidak menentukan model, tetapi syarat. Dan dalam soal pakaian ini Rasulullah Saw menyaratkan di antaranya pakaian umat Islam harus menutup aurat dan tidak menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi orang kafir. Dalam hal memegang fungsi khalifah yang diamanahkan Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi, Muhammadiyah lebih luas dan menyeluruh. Dunia ini harus diurus oleh hamba Allah – dalam hal ini umat Islam, dan tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Maka untuk menciptakan sumber daya umat agar mampu memakmurkan bumi, Muhammadiyah memajukan umat lewat pendidikan (misalnya perguruan tinggi), menjaga kesehatan umat (mendirikan rumah sakit), menyantuni anak yatim (rumah penyantun atau panti asuhan), dan lainnya. Sementara Salafi, mungkin karena keterbatasan tertentu, belum terlihat menyamai Muhammadiyah.
- Penulis : Hermansyah Adnan
- Editor : Suhendra