Teoekologi dan Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam - Muhammadiyah Aceh

Pengajian Rutin Ahad Subuh
26 Oktober 2025
Masjid Taqwa Muhammadiyah Aceh
==========================
Ust. Prof. Dr. Ali Abubakar, M.Ag
==========================

Teoekologi berasal dari dua kata: teo yang berarti Tuhan, dan logi yang berarti ilmu. Maka, teoekologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara Tuhan dan lingkungan. Dalam konteks ini, teoekologi menyadarkan kita bahwa persoalan lingkungan bukan hanya soal teknis dan sains, tapi juga berkaitan dengan nilai-nilai ketuhanan dan tanggung jawab spiritual manusia terhadap alam.

Dalam sejarah pemikiran Yunani, awalnya manusia mempercayai mitos, termasuk kepercayaan pada kekuatan-kekuatan alam seperti bintang, laut, dan langit. Namun seiring waktu, manusia mulai beralih dari mitos menuju logos, yaitu berpikir secara rasional dan ilmiah. Kata “logos” sendiri memiliki dua makna: sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai akal sehat atau sesuatu yang masuk akal.

Islam telah mengintegrasikan keduanya jauh sebelum istilah teoekologi muncul. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman tentang penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna khalifah di sini mencakup tanggung jawab untuk menjaga, mengelola, dan melestarikan bumi dengan sebaik-baiknya.

Hari ini, kerusakan lingkungan telah menjadi isu global. Ini disebabkan oleh meningkatnya gaya hidup konsumtif, eksploitasi sumber daya alam, dan pembangunan yang tak ramah lingkungan. Padahal, dalam QS. Ar-Rahman ayat 7–9, Allah menegaskan:
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia ciptakan keseimbangan (mizan). Supaya kamu jangan merusak keseimbangan itu.”
Ayat ini menekankan bahwa *alam diciptakan dalam keseimbangan*. Jika manusia melanggarnya, maka kehancuran yang akan terjadi.

Bahkan dalam budaya lokal kita, bumi disebut sebagai “Ibu Pertiwi”. Di berbagai negara juga dikenal istilah seperti Mother Earth, Motherland, atau Inang Bayan (Filipina). Istilah ini mencerminkan bahwa bumi diperlakukan seperti seorang ibu: tempat kita lahir, diberi makan, dirawat, dan dilindungi.

Maka, sebagai anak-anak dari “ibu bumi”, tidakkah kita merasa malu jika justru merusaknya?

Dalam Islam, pelestarian lingkungan bukan hanya etika, tapi juga ibadah. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang muslim menanam pohon, lalu ada manusia, hewan, atau burung yang memakannya, melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini menegaskan konsep fiqih lingkungan, bahwa menanam pohon bukan hanya amal kebaikan dunia, tapi juga sedekah jariyah yang terus mengalir pahalanya. Buah yang dimakan, bayangan tempat berteduh, udara segar yang dihirup, semuanya memberi manfaat bagi kehidupan.

Maka, penghijauan, perawatan alam, dan aksi-aksi kecil yang menjaga lingkungan adalah bagian dari dakwah dan ibadah yang nyata.

Kesimpulan

Pelestarian lingkungan bukanlah isu sekuler semata, tapi bagian dari ajaran Islam yang sangat mendasar. Melalui teoekologi, kita diajak untuk melihat alam bukan hanya dari sudut pandang sains, tapi juga sebagai bagian dari amanah Ilahi yang harus dijaga.

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mencintai bumi sebagaimana kita mencintai ibu sendiri, dengan kasih sayang, tanggung jawab, dan tindakan nyata.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *